Vazaal Mataram
Semula di Priangan hanya ada dua wilayah yang berdiri sendiri, yakni Sumedang dan Galuh (Hole : 1869). Sumedang keberadaannya mulai nampak setelah kerajan Sunda Pajajaran hancur dan ada upaya dari Jayaperkosa untuk meningkat kan Sumedanglarang (Geusan Ulun) sebagai pengganti raja Sunda, ditandai dengan digunakan Sanghiang Pake ketika melantik Geusan Ulun. Sedangkan Galuh tetap berdiri sendiri dibawah pemerintahan bupati setempat. Pada tahun 1595 Galuh dikuasai Mataram di bawah pemerintahan Sutawijaya yang memerintah Mataram pada tahun 1586-1601.
Setelah Geusan Ulun Wafat maka penggantinya, Raden Aria Suriadiwangsa pada tahun 1620 berserah diri kepada mataram tanpa peperangan dan tanpa perlawanan apapun. Pada saat itu Sumedang berubah menjadi Kabupaten. Sejak sat itu pula Sumedang merupakan bagian dari Priangan. Dan mengangkat Aria Suriadiwangsa sebagai Wedana Bupati Priangan (1620-1624) sekaligus Bupati Sumedang, dengan gelar Rangga Gempol I. Namun setelah gagal melakukan penyerangan ke Sampang maka ditahan di Mataram. Sebagai penggantinya diangkat Dipati Ukur.
Kekuasaan Dipati Ukur pada saat itu berpusat didaerah Bandung Selatan, membawahi Sumedang, Sukapura, daerah tatar Ukur atau Bandung, Limbangan, sebagian daerah Cianjur, Karawang, Pamanukan, dan Ciasem. Penyerahan kekuasaan tersebut disertai sarat dari Sultan Agung untuk menyerang Belanda di Batavia. Pada tahun 1628 serangan di lakukan, namun akibat dari salah kordinasi, karena pasukan Mataram tidak kunjung datang, maka Dipati Ukur dikalahkan Belanda. Dipati Ukur menyadari kegagalannya akan berakibat mendapat hukuman dari Sultan Agung. Oleh karenanya melakukan pemberontakan.
Kisah penangkapan Dipati Ukur yang selama ini kita ketahui dilakukan oleh tiga umbul Priangan, namun Naskah Leiden Oriental menjelaskan Dipati Ukur ditangkap oleh Bagus Sutapura (Adipati Kawasen) untuk kemudian dibawa ke Galuh. Naskah tersebut ditulis oleh Sukamandara yang pernah menjadi Jaksa di Galuh. Peristiwa penangkapannya menurut Prof. DR. Emuch Herman Somantri terjadi pada hari Senin tanggal 1 bulan Jumadil Awal 1034 H sekitar pertengahan tahun 1632.
Kisah penangkapan Dipati Ukur oleh Bagus Sutapura di uraikan didalam Sejarah Galuh, yang disusun oleh Raden Padma Kusumah. Naskah ini disusun berdasarkan naskah yang dimiliki oleh Bupati Galuh R.A.A Kusumah Diningrat 1836-1886 M, bupati Galuh R.T Wiradikusumah 1815 M dan R.A Sukamandara 1819 M. Cuplikan naskah tersebut menjelaskan, sebagai berikut :
255 : Heunteu kocap dijalanna-Di dayeuh Ukur geus Neupi-Ki Tumenggung narapaksa-Geus natakeun baris-Gunung Lem bung geus dikepung-Durder pada ngabedilan-Jalan ka gunung ngan hiji-Geus diangseug eta ku gagaman perang.
256 : Dipati Ukur sadia-Batuna digulang galing-Mayak-Gaga man di lebak-Rea anu bijil peujit-sawareh nutingku lisik- Pi rang-pirang anu deungkeut-kitu bae petana-Batuna sokpulang panting-Ki Tumenggung Narapaksa rerembugan
257 : Urang mundur ka Sumedang-Didinya Urang Badami- Nareangan anu bisa-Nyekel raheden Dipati-Bupati pada mikir- Emut ku Dhipati galuh-Ka Ki bagus Sutapura-Waktu eta jalma bangkit-Seg disaur ana datang diperiksa
258 : Kyai bagus Sutapura-Ayeuna kawula meureudih-Dipati Ukur sing beunang-Ditimbalan dijeng gusti-Nanging kudu ati-ati-Perkakasna eta batu-Gedena kabina-bina–Dikira sagede leuit-Dingaranan Batu Simunding lalampah.
259 : Kyai bagus Sutapura-Perkakasna ngan pedang jeung ke ris-Datang kana pipir gunung-Tuluy gancangan nanjak-Geus datang kana tengah-tengah gunung-Batu Ngadurungdung da tang-Dibunuh geus burak-barik.
260 : Nu sabeulah seug dicandak-Dibalangkeun nyangsang di na luhur kai-Nu matak ayeuna masyhur-Ngarana batu layang-Kocap deui Kyai bagus Sutapura ngamuk-Balad Ukur enggeus ruksak-Ukur ditangkap sakali.
276 : Hariring katu nimbalang-Eta maneh bener Kyai Dipati-Eh ayeuna Tumenggung-Tumenggung Narapaksa-Karep ka menta Ngabehi anu tilu-Ayeuna angkat Bupati.
279 : Kyai bagus Sutapura-ayeuna ngarana kudu diganti-Bari diangkat Tumenggung-Tumenggung Sutanangga-Jeung bere cacah 7000-Ayeuna Geus tetep linggih
Terhadap perbedaan versi ini sangat mungkin terjadi dan dapat menambah pengayaan pengetahuan masyarakat, khususnya di tatar sunda agar mengetahui kebenaran sejarahnya. Suatu hal yang perlu dicermati dari masing-masing versi tentang paradigma para penulis terhadap Dipati Ukur, apakah diakui sebagai pahlawan atau pembuat onar. Jika saja pembuat onar, maka keonaran tersebut harus dibaca sebagai pemberontakan orang tanah Priangan terhadap para tuan yang menguasai Priangan saat itu. Paling tidak, ada kenyamanan penguasa dan sekeselernya yang terganggu oleh Dipati Ukur, sehingga dikonotasikan negatif.
Pemberontakan Dipati Ukur berlangsung dari 1628-1632 M. menggambarkan, betapa sulitnya Mataram melakukan pengawasan terhadap Priangan yang memang jauh letaknya dari pusat kekuasaan. Berdasarkan latar belakang ini konon kabar Sultan Agung berupaya untuk menjaga stabilitas diwilayah Priangan dan Karawang dengan cara melakukan reorganisasi terhadap daerah-daerah tersebut.
Pembagaian wilayah tersebut menurut Hardjasaputra (hal.23) menjadi sebagai berikut: Pertama, Daerah Karawang lumbung padi dan garis depan pertahanan Mataram bagian barat, dijadikan kabupaten, dengan statusnya tetap berada di bawah kekuasaan Wedana Bupati Priangan. Kedua, pada tanggal 9 tahun Alip (menurut Hole : 20 April 1641) Wedana Bupati Priangan Tengah dibagi menjadi empat Kabupaten. Sumedang diperintah oleh Pangeran Dipati Kusumadinata (Rangga Gempol II), merangkap sebagai Wedana Bupati Priangan. Ketiga, daerah Priangan diluar Sumedang dan Galuh dibagi menjadi tiga kabupaten, yaitu Sukapura, Bandung dan Parakan muncang. Untuk memerintah tiga kabupaten tersebut Sultan Agung mengangkat tiga orang kepala daerah yang dianggap berjasa memadamkan pemberontakan Dipati Ukur yakni: Ki Wirawangsa Umbul Surakerta menjadi Bupati Sukapura dengan gelar Tumenggung Wiradadaha ; Ki Astamanggala Umbul Cihaurbeuti menjadi Bupati Bandung, dengan gelar Tumenggung Wiraangunangun ; dan Ki Somahita Umbul Sindangka sih menjadi Bupati Parakanmuncang, dengan gelar Tumenggung Tanubaya. Pengangkatan tersebut sebagaimana di tulis dalam suatu Piagem.
Ketiga, Daerah Priangan Timur, yakni Galuh dipecah menjadi empat daerah, yaitu Utama, Bojonglopang (Kertabumi), Imbanagara, dan Kawasen. Berdasarkan kisah dari sumber lainnya, : Utama diperintah oleh Sutamanggala, Imbana gara diperintah oleh Adipati Jayanagara, Bojong lopang diperintah oleh Dipati Kertabumi, dan Kawasen diperintah oleh Bagus Sutapura. Konon kabar Bagus Sutapura pada tahun 1634 diberikan jabatan Bupati di Kawasen karena dianggap berjasa menaklukan Dipati Ukur. Sementara Dipati Imbanagara yang dicurigai berpihak kepada Dipati Ukur, pada tahun 1636 dijatuhi hukuman mati.
Struktur jabatan Bupati di Priangan terhadap Mataram sama halnya dengan Bupati di negara lain, termasuk elite birokrasi tingkat menengah. Bentuk gaya hidup para Bupati seperti miniatur keraton (Soetjipto : 1980). Dibawah pemerintahan Mataram, para Bupati di Priangan berkuasa seperti raja. Kehidupan mereka mirip dengan kehidupan raja dalam arti lebih kecil. Setiap bupati memiliki simbol-simbol kebesaran, seperti songsong (payung kebesaran), pakaian kebesaran, senjata pusaka, kandaga (kotak perangkat upacara kebesaran), kuda unggangan, dan lain-lain. Semuanya dinyatakan dalam piagam pengangkatannya. Para bupati memiliki pengawal khusus dan prajurit bersenjata. Atas dasar inilah dihadapan rakyat Bupati dianggap memiliki otoritas penuh, baik sebagai kepala Daerah maupun sebagai pemimpin tradisional. Namun tetap harus menyerahkan upeti setiap tahun, menghadap raja pada upacara tertentu, memberikan bantuan jika dimintakan raja.
Perintah demikian merupakan cara bagi raja Mataram untuk mengukur tingkat loyalitas para Bupati, sama halnya dengan yang dialami Rangga Gempol I dan Dipati Ukur. Tinggi rendah kedudukan Bupati nampak dalam gelar yang disandangnya, seperti gelar Tumenggung ; Aria ; Adipati ; Pangeran. Gelar Tumenggung diberikan secara langsung pada saat diberi gelar Bupati, sedangkan gelar Aria ; Adipati ; Pangeran diberikan sesuai dengan konditenya. Selain gelar kepangkatan, para bupati juga memiliki Gelar Priyayi, yaitu raden. Menurut Harjasaputra (Sundalana 3 : 2004), Mataram telah menumbuhkan feodalisme pada diri bupati, sehingga hubungan antara bupati dengan rakyat pun terjalin dalam ikatan feodal yang melembaga menjadi tradisi.
Posting Komentar untuk "Vazaal Mataram"